Dalam berbagai sudut pandang, mode merupakan bidang industri yang sarat progresivitas. Namun pada titik tertentu mode tetap memiliki sekelumit kekakuan sehingga insan dan institusi di dalamnya tetap berusaha untuk membuat perubahan. Mengamati fenomena fashion yang terjadi beberapa tahun terakhir, sepertinya menarik jika kita membahas imbuhan -less yang semakin sering terlihat pada beberapa kata bahasa Inggris. Setelah mengikuti kata gender sebagai protes busana normatif berdasar jenis kelamin –yang bahkan hingga saat ini kata genderless belum dimasukkan dalam kamus Oxford, namun ada di Merriam-Webster– afiks ini menghampiri salah satu kata atau subyek utama yang menjadi acuan mode: season, atau musim dalam bahasa Indonesia. Seasonless alias tak mengacu musim.
Pertengahan Mei lalu, Dries Van Noten bersama beberapa pelaku mode menyuarakan kegelisahan mereka atas kalender penjualan dan diskon yang kian absurd, ditambah efek pandemi Covid-19 yang meluluhlantakkan daya konsumsi. Pada sebuah surat terbuka, desainer Flandria ini serta kawan-kawannya mempertanyakan banyaknya jadwal diskon dan singkatnya waktu produksi demi memenuhi persaingan retail. Petisi tersebut langsung viral di sosial media basis mode serta disorot beberapa website.
Selang dua minggu, Gucci mengunggah pernyataan mengejutkan dari Alessandro Michele pada akun Instagram resminya. Pada unggahan sebanyak 18 feed tersebut, sang direktur kreatif mengemukakan bahwa Gucci akan merilis 2 koleksi dalam setahun tanpa embel-embel musim. Dua bulan sebelumnya Saint Laurent –yang merupakan rekan satu grupnya di Kering– sudah mengisyaratkan hal serupa meski belum ada kegencaran akan seasonless fashion.
Di bulan ini desainer jet set Amerika, Michael Kors, menyatakan akan absen dari New York Fashion Week meski belum jelas untuk sementara atau seterusnya. Hype dari seasonless fashion juga didukung oleh desainer New York lainnya, Marc Jacobs, yang mana kerap mempertanyakan keabsahan musim mode pada berbagai kolom komentar Instagram. Hingga artikel ini dibuat, belum ada langkah nyata atau pernyataan resmi dari Marc Jacobs untuk mengikuti kebijakan serupa pada rumah mode yang dibinanya.
Sebagian pihak menyebut kecenderungan ini merupakan masa depan dunia fashion untuk perkembangan kreatif yang lebih menarik dan tidak memaksakan diri. Tanpa adanya kekangan kalender baku mode (spring-summer dan fall-winter) ditambah berbagai koleksi antara (cruise dan pre-fall), desainer memiliki keleluasaan dan otoritas lebih dalam hal berkarya. Ragam fashion merchandising juga diharapkan dapat dikalkulasi meluncur lebih matang. Saat mendapat inspirasi atau budget khusus, mereka juga bisa merilis tanpa binggung dalam pertimbangan pemetaan musim mode. Secara generik, kondisi rumah mode akan lebih sehat dengan berkurangnya tekanan dan aturan.
Meski nampak baru, pergerakan ini sejatinya sudah eksis sebelumnya. Makna kata ‘seasonless’ telah dibahas Elle.com sejak tiga tahun lalu. Segelintir fashion indie brand bahkan telah memakai sistem ini sejak awal dekade 2010-an. Bagi mereka, seasonless adalah sebuah anutan, atau keyakinan. Ada yang menyebut koleksi mereka dalam nama edition atau edisi, ada pula dengan tajuk volume. Alasannya pun beraneka rupa; mulai dari demi kebebasan berkreasi nan mutlak, penentangan fast-fashion, hingga terang-terangan agar tidak terlihat mainstream.
Pertama, mari kita lihat Cristaseya. Digawangi dua fashion stylist Cristina Casini dan Keiko Seya, label dari Paris ini rajin merilis pakaian dalam basis edition sejak tahun 2013. Karya mereka telah dimuat berbagai media terkemuka dari Vogue hingga New York Times, meski pelanggannya masih terbatas pada kalangan fashion niche. Transaksi produk mereka yang dibanderol dengan harga USD 300 pun cukup unik mengacu pada sistem online shop temporer selama 1 atau 2 minggu per edisinya.
Label lain yang juga merilis koleksi seasonless dalam moda misterius adalah Non Type, didirikan oleh George Gorrow dan istrinya Cisco Tschurtschenthaler. Sekadar informasi, George adalah rekan Garreth Moddy saat merintis label premium jeans asal Australia, Ksubi. Non Type dirilis dalam rangkaian pop-up store, salah satunya bertempat di hotel luks-konseptual The Slow Canggu, Bali.
Konsep seasonless yang lebih accessible diaplikasikan oleh AYR, label dari Amerika Serikat yang dinamain dalam singkatan dari ‘All Year Round’ atau sepanjang tahun. Konsep brand ini adalah koleksi kapsul yang dapat dipakai sepanjang tahun dan tak lekang musiman. Selain harganya lebih bersahabat, produknya pun jauh lebih mudah didapatkan ketimbang dua merek yang disebutkan sebelumnya, karena memiliki online store reguler yang dapat diakses kapan saja.
Bagi para desainer baru, seasonless fashion adalah salah satu alternatif yang dapat diaplikasikan baik pada model bisnis maupun gimmick semata. Selain lebih masuk akal, saat ini moda yang bersangkutan juga jauh lebih seksi ketimbang penganggalan mode konvensional musiman. Desain yang ditawarkan pun dapat sangat beragam asal masih sesuai dengan brand DNA yang sudah digodok sebelumnya. Barang mode yang ditawarkan pun dapat berupa koleksi kapsul maupun yang sarat semangat kreatif. The Bespoke Fashion Consultant sebagai satu-satunya fashion incubator dan fashion consultant di Indonesia pun dapat menunjukkan strategi yang tepat dalam membuat fashion label dengan basis seasonless.
*Keterangan gambar, dari kiri ke kanan searah jarum jam: AYR, AYR, Cristaseya, Dries Van Noten.