Estetika Dan Idealisme Pada Genderless Fashion

"Sebuah prinsip kebebasan identitas yang kini menjadi tren mode global."

Pada dasarnya, genderless fashion merupakan subyek mode yang mendobrak aturan berpakaian baku dalam masyarakat, khususnya pengelompokkan jenis kelamin. Topik serupa kerap terlihat dalam satu dekade terakhir lewat berbagai judul; mulai dari unisex couture, androgyny, hingga gender bender dan gender neutral. Meski demikian, ranah progresivitas yang dibahas The Bespoke Fashion Consultant kali ini sebenarnya sudah terlacak sejak seabad lalu.

Kesuksesan bias gender dalam industri mode dimulai pada awal abad ke-20, saat Coco Chanel sukses lewat koleksi awalnya yang mencatut elemen dan siluet busana pria. Setelan tuksedo, bahan tweed dan gaun hitam sederhana yang dibuatnya ternyata laku di pasaran, lalu menjadi tren dan membuat namanya abadi. Seiring waktu bergulir, perombakan norma gender lewat pakaian ternyata dapat terus kita saksikan oleh ikon dan karya yang mewakili zamannya. Kita mengenal Marlene Dietrich, David Bowie dan Grace Jones dari kalangan seni pertunjukan, serta Yves Saint Laurent, Jil Sander, Comme Des Garçons dan Nicholas Ghesquière dari ranah mode.

Istilah “genderless fashion” muncul baru belakangan ini, berkat subkultur Jepang di mana para perempuan dan laki-lakinya berpakaian tanpa memikirkan norma baku dengan bold dan chic. Estetika ini diamini Eden Loweth Tom Barratt pencetus Art School yang mulai dikenal publik tahun 2017. Rumah mode asal London ini secara reguler ikut dalam pekan mode busana pria, namun memamerkan banyak pakaian wanita inovatif dan busana gender non-binary nan progresif. Yang lebih menarik, sebagian besar model pria yang berjalan membawakan busana feminin sedangkan model wanita memakai busana berbau maskulin. Meski demikian, kita harus mengakui bahwa garis dekonstruksi dan aksi panggung seperti ini sudah kita lihat sejak koleksi awal John Galliano untuk Maison Margiela Artisanal koleksi musim gugur/dingin 2015/2016.

Esensi dari genderless fashion adalah identitas yang distingtif. Identitas tersebut kemudian tercermin dari kenyamanan individu untuk menjadi dirinya sendiri, lepas dari tuntutan sosial untuk berlaku dan berpakaian seperti layaknya orang awam. Ini yang membuat sistem merchandising pakaian dengan tema genderless fashion bisa sangat beragam, mulai dari atasan, jaket, gaun, celana, rok, bahkan terusan celana teknisi-montir yang kita kenal dengan istilah wearpack.

Langkah paling sulit dalam implementasi ranah mode ingkar jenis kelamin adalah proses eksekusi pada pola dan jahit. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya, laki-laki dan perempuan memiliki ukuran pakem tubuh yang sangat berbeda. Sampai sekarang, desainer yang benar-benar mumpuni dan dapat masuk dalam kategori luxury goods jumlahnya masih sangat terbatas, salah satunya adalah Rad Hourani. Perancang unisex couture asal Kanada tersebut lolos seleksi sebagai anggota kehormatan Chambre Syndicale a Paris de la Haute Couture di tahun 2013. Koleksi-koleksi besutannya mengusung estetika minimalis dalam norma adibusana dan lewat tekniknya yang sangat hebat, seluruhnya dapat dipakai baik dalam tubuh perempuan dan laki-laki tanpa terlihat janggal.

Genderless fashion akhirnya menjadi tren global dan terus bergulir hingga kini, tahun 2020, pintu dekade baru abad ke-21. Jika kita mengetik dua kata bahasa Inggris di situs pencarian Google, gambar pertama yang keluar adalah peragaan Ludovic de Saint Sernin yang diselenggarakan di tepi kolam renang. Busana yang ditawarkan berbagai macam, mulai dari baju renang, atasan tanpa lengan asimetris (ingat: untuk pria!), handuk yang dibentuk rok, hingga kimono. Jika biasanya genderless fashion mengusung gaya estetika yang quirky dan tajam, Ludovic malah terkesan alluring dan manis.

Perancang dunia lain yang turut dalam pergerakan ini di antaranya: Alessandro Michele, Jonathan Anderson, Raf Simons, Alexander Wang dan Vetements yang digawangi Demna Gvasalia. Nama yang terakhir disebut kini masih menjabat sebagai kepala kreatif Balenciaga dan bertanggung jawab atas gaya busana streetwear kedodoran yang dipakai semua anak gaul kaya –baik perempuan maupun laki-laki– saat ini. Ini bukti bahwa aliran/tema/idealisme/gaya/tren genderless fashion dapat diaplikasikan dalam berbagai sudut pandang, asal tetap dalam kaidah proporsi campuran maskulin-feminin. Tentu saja platform media sosial Instagram memiliki peran sangat besar dengan banyaknya gender-fluid influencer serta unggahan editorial mode yang provokatif di dalamnya.

Di Indonesia sendiri, kita dapat melihat falsafah genderless fashion dipraktikan oleh banyak desainer; mulai dari Amot Syamsuri Muda, Studio Moral dan Saint York yang ekspresif, hingga Sapto Djojokartiko yang membuai. Meski demikian, jumlahnya belum terlalu jamak dan masih banyak peluang untuk bermain dalam lingkup ini. The Bespoke Fashion Consultant akan memberikan arahan dan acuan khusus bagi fashion designer atau label owner yang mau bermain dengan tema genderless fashion.

Share this post:

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin