Para penganut agama Abrahamik –Islam, Kristen, Yahudi, Druze dan segala sinkretisnya– meyakini pelangi diberikan Tuhan kepada keluarga Nabi Nuh setelah bencana hujan yang melanda bumi selama 40 hari 40 malam. Dalam naskah agama, fenomena alam ini merupakan janji-Nya untuk tidak memberikan bencana serupa. Bagi umat manusia, sang cahaya polikromatik menjadi simbol pengharapan akan datangnya masa depan indah untuk melanjutkan hidup.
Konteks tersebut terlihat mirip dengan apa yang kita alami saat ini. Virus corona telah menjangkiti bumi sepanjang tahun 2020 berlangsung. Dibanding bencana banjir bandang yang dialami Sang Nabi, pandemi ini telah bersama penduduk bumi sekitar enam kali lipatnya. Setelah dihinggapi ketakutan, stres, pasrah, berhati-hati, dan mencoba berusaha semampunya untuk melanjutkan hidup, manusia kini membutuhkan satu faktor agar dapat membangun kembali: harapan.
Dalam bisnis, di mana segala aspek diperhitungkan secara eksak, harapan adalah sesuatu yang tidak nyata. Namun pada fase sarat kebimbangan ini, hanya harapan yang dapat dimiliki setiap orang untuk tetap semangat dan bersikap optimis. Seakan menjawab kebutuhan penduduk dunia yang ingin meninggalkan kemuraman, spektrum pelangi dan corak tabrak warna muncul sebagai tren mode. Untuk itu, mari kita terlebih dahulu kesampingkan kombinasi warna ini sebagai usungan paten yang digalakkan komunitas dengan orientasi tertentu.
Pada panggung runway spring-summer 2021, sejumlah rumah mode mapan semacam Louis Vuitton, Chanel, Valentino dan Miu Miu menyelipkan beberapa koleksi multi-warna berdasar interpretasi masing-masing. Desainer kaliber dunia Gabriela Hearst dan Christopher John Rogers bahkan mengadaptasi lapisan warna pada pelangi secara gamblang. Para ujung tombak mode Indonesia Biyan Wanaatmadja dan Sapto Djojokartiko pun merilis koleksi polikromatik dalam kaidah estetika yang mereka anut.
Jika kita sandingkan dengan koleksi spring-summer 2020, proyeksi fashion items di tahun 2021 jauh lebih segar dan berwarna. Sebelum tertabrak wabah, kondisi mode seolah mengalami kebosanan yang bertemu dengan permintaan pasar akan busana minimalis. Selain Gucci dan Balenciaga yang kemarin menjadi pemimpin tren fenomenal –yang tidak dapat dipungkiri, didukung oleh strategi bisnis dan komunikasi yang masif– sebagian besar rumah mode internasional merilis busana single tone dengan sedikit aksen atau repetisi yang terasa mediocre.
Tren warna 2020 dari Pantone pun tidak kalah menjemukan. Warna classic blue yang diusung sama sekali tidak baru, seolah menendang jauh elemen keberanian yang sejatinya ditakzimkan dalam industri mode dan desain secara keseluruhan. Warna biru kobalt yang diusung John Galliano pada Margiela Artisanal di tahun 2015 dan Yves Klein blue pada Céline spring-summer 2017 oleh Phoebe Philo bahkan jauh lebih menarik.
Stella Jean yang namanya naik musabab eksperimen coraknya juga terlihat meredupkan tonanya untuk busana musim panas kemarin. Hal ini tidak dapat disalahkan, karena mau tidak mau para pemilik label dan creative director harus menyesuaikan desainnya dengan selera pasar. Sehingga alangkah menyenangkannya, pada rilisan terbarunya sang desainer kembali pada filosofi rancangnya.
Pada ranah mode retail dalam negeri, pakaian dengan tabrak tona dan corak multi-warna justru telah lebih dahulu bersahabat dengan feed Instagram kita berkat Calla the Label. Koleksinya terpakai oleh selebriti, influencer, teman kita, bahkan mungkin kita sendiri dalam foto dan video bernuansa cerah dan menyenangkan. Label mode besutan Yeri Afriyani ini memang sudah tenar akan eksperimen warnanya sehingga naik dalam panggung Jakarta Fashion Week 2020, namun semakin populer berkat pergerakan #supportlocalbrand yang masif semasa pandemi.
Aplikasi pelangi dan tabrak warna memang bukan sesuatu yang baru di dunia mode. Selain dibesut Yves Saint Laurent, Mary Quant, Emanuel Ungaro dan Issey Miyake di era terdahulu, spektrum ini kerap terlihat pada berbagai runway dan lookbook dekade 2010-an. JW Anderson dan Mary Katrantzou memperlihatkan keahlian mereka dalam mengolah spektrum pelangi pada busana resort 2016. Dries Van Noten pun memakai pola yang sama dengan inspirasi karya Verner Panton. Seluruhnya dapat Anda jadikan acuan dalam mengeksplorasi koleksi atau gaya Anda. The Bespoke Fashion Consultant sebagai institusi dan konsultan mode juga dapat memberikan arahan yang distingtif dan approachable bagi Anda yang ingin mengaplikasikan tren ini.
Secara psikologis, rentetan warna memang memberikan efek bahagia bagi sang pemakai dan yang melihatnya dan berfungsi sebagai pengalih sekelumit masalah yang harus kita hadapi selama pandemi berlangsung. Akankah tunggakan cicilan, kerugian dan ketersendatan bisnis langsung hilang seketika saat melihat banyak warna? Tentu tidak. Tetapi semua itu akan jauh lebih ringan dihadapi ketika kita yakin akan pengharapan dan selalu berpikir positif.
KETERANGAN GAMBAR:
Gambar besar (dari kiri ke kanan): Louis Vuitton spring-summer 2021 runway, Miu Miu spring-summer 2021 runway; gambar kecil atas (ki-ka): Stella Jean spring-summer 2021 lookbook, Gabriela Hearst spring-summer 2021 runway, Calla the Label x Ayla Dimitri collection; gambar kecil bawah (ki-ka): Christopher John Rogers spring-summer 2021 lookbook, Biyan spring-summer 2021 Moda Operandi trunkshow lookbook, Raf Simons spring-summer 2021 runway.