Tren mode merupakan satu hal yang cukup rumit untuk dipraktikkan. Pada beberapa kasus, di saat beberapa rumah mode sukses dengan mengadaptasi fashion trend secara konstan, ada pula yang gagal sehingga terlihat hilang arah. Di sisi lain, kasus fashion label yg terus tergerus akibat absennya adaptasi tren justru lebih banyak ketimbang institusi mode yang masih selamat dengan jalan bersikukuh dalam nilai tradisionalnya. Sama seperti langkah bisnis dalam industri lain, adaptasi fashion trend juga memiliki nilai resiko.
Lalu, apakah perlu fashion label merilis koleksi dengan adaptasi fashion trends di dalamnya? Jawabannya tergantung pada brand owner atau creative director dari label yang bersangkutan. Satu hal yang perlu diketahui: mode adalah kebutuhan zaman yang terus bergerak sejalan alunan progresivitas. Persepsi konsumen terhadap satu produk akan lain dalam waktu yang berbeda pula. Misalnya, jika 7 tahun lalu puff sleeves terlihat kuno, sekarang justru menjadi aksen yang fashionable. Atau, gaya streetwear yang kini tengah viral –menjadi tren besar sejak beberapa tahun belakangan– mungkin menjadi tidak relevan jika dipakai pada tahun 2025.
Terdapat kesalahpahaman tentang adaptasi fashion trend yang beredar secara luas, bahkan di kalangan mode sendiri. Ada yang berkata bahwa mengikuti tren berarti meninggalkan brand DNA atau identitas label. Nyatanya, jika kita mengaplikasi dengan cara yang benar, justru dapat membuahkan inovasi tersendiri. Cara riset tren pun kadang terasa ambigu. Beberapa secara gamblang menjiplak apa mereka lihat di runway atau Pinterest. Tidak ada yang salah dengan itu, namun bukan itu proses riset dan adaptasi tren yang profesional.
Lewat artikel ini, The Bespoke Fashion Consultant selaku fashion incubator pertama di Indonesia akan menjabarkan langkah, proses dan pokok yang harus diperhatikan dalam pengambilan dan adaptasi tren untuk para fashion designer, label atau rumah mode.
1. Pemisahan antara projected trends dan phenomenal trends
Saat melakukan riset fashion trends, pastikan Anda melakukan riset secara mendalam, baik tren yang terjadi secara fenomenal maupun upcoming trends yang diramalkan. Phenomenal trends biasanya terjadi diakibatkan oleh gebrakan dan inovasi oleh desainer atau rumah mode dan diterima secara masif oleh pasar. Dalam perkembangannya, tren fenomenal juga akan banyak terlihat pada selebriti dan influencer. Koleksi tersebut akhirnya menjadi penanda zaman dan menginspirasi banyak label lain agar tetap relevan dengan selera pasar. Beberapa contoh tren fenomenal adalah: minimalism yang diusung Phoebe Philo, interpretasi gaya sporty yang dirilis Alexander Wang, streetwear oleh Vetements dan Off-White, dan loungewear di masa pandemi. Bagi kaum awam, phenomenal trends kerap disebut sesuatu yang nge-trend atau sedang-in (en vogue).
Sementara itu, projected trends atau tren terproyeksi adalah tren yang diramalkan oleh para trend forecaster. Beberapa yang ternama di antaranya Lidewij Edelkoort dan WGSN. Para peramal tren tersebut merilis proyeksi tren berdasarkan berbagai analisis: mulai dari kondisi sosial, politik dan ekonomi hingga selera pasar dan scheduled event (Olimpiade, Pemilu Amerika Serikat, ulang tahun Bauhaus dan Perang Dunia, dll). Dibanding tren fenomenal, prejected trends terasa samar karena masih dalam tahap ramalan (belum terjadi) dan butuh riset lebih lanjut untuk adaptasi dan aplikasinya.
Kebanyakan orang atau pelaku bisnis mode sekadar melihat tren fenomenal yang sedang viral. Tidak ada yang salah akan hal itu. Namun perlu diketahui bahwa para inovator mode justru menilik trend terproyeksi secara saksama. Beberapa kasus yang tercatat adalah: Alexander Wang yang berhasil mengantisipasi sportswear trend di tahun 2012 dan Demna Gvasalia yang menganalisis kondisi politik Amerka Serikat lalu melahirkan koleksi ala Bernie Sanders untuk Balenciaga menswear fall/winter 2017-2018. Phoebe Philo juga secara cermat memperhatikan proyeksi tren akhir dekade 2000-an dan awal 2010-an yang mengatakan bahwa glamorama belum bisa diterima akibat resesi ekonomi yang melanda bumi belahan utara. Ketiga desainer tersebut mengaplikasi proyeksi tren secara cermat hingga akhirnya dapat membuat inovasi dan kemudian, phenomenal trends.
2. Memperhatikan profil dan segmentasi label serta jadwal produksi
Setelah membuat riset yang komprehensif, tinjau segmentasi dan jadwal produksi dari label Anda untuk memilih fashion trends yang akan diadaptasi. Secara teoretis, Anda dapat memilih tren sesuai dengan kurva Difussion of Innovations yang dibuat oleh Everett Rogers. Jika Anda seorang desainer atau rumah mode yang mengedepankan kreativitas serta membanderol koleksi Anda dengan harga tinggi (hingga puluhan juta rupiah atau ribuan dollar), tentu Anda harus membaca projected trends secara teliti dan mengadaptasi lebih banyak dari sana ketimbang phenomenal trends yang mungkin dapat Anda ambil sedikit hanya untuk berjaga-jaga. Mengapa? Karena Anda berada dalam posisi Innovator dalam kurva tersebut.
Kalau Anda mengelola fashion label dengan pangsa pasar menengah ke atas dalam kisaran harga retail 700.000 hingga 5 juta rupiah, Anda dapat menilik karya desainer inovatif seperti Nicholas Ghesquiere, JW Anderson atau Pierpaolo Piccioli untuk dijadikan panutan. Hal ini disebabkan karena label Anda secara umum berada pada posisi Early Adopter, yang mana mata konsumen Anda harus lebih dulu beradaptasi dengan gebrakan tren yang sudah berlangsung 6 bulan hingga 2 tahun sebelumnya. Komposisi adaptasi phenomenal trend juga lebih banyak, sekitar 40%-50% dari keseluruhan koleksi.
Sedangkan kurva selanjutnya (Early Majority, Late Majority dan Laggards) diisi oleh pangsa pasar menengah hingga ke bawah yang memerlukan produksi dalam kuantitas besar. Target audience dalam posisi-posisi ini sangat besar sehingga fashion label harus siap untuk bertarung secara bloodbath. Pada posisi-posisi ini, diperlukan komposisi adaptasi tren yang berlainan –baik untuk diproduksi secara masif sebagai barang jual maupun gimmick yang berfungsi sebagai sarana promosi.
Selain mengacu pada kurva Diffusion of Innovations, fashion label juga harus memperhatikan jadwal produksi. Hal ini sangat berpengaruh agar saat koleksi dirilis, produk-produk dapat tetap relevan dengan animo pasar yang ditargetkan.
3. Telaah filosofi dan sejarah dari fashion trends yang diambil
Dalam sebuah video wawancara yang diambil oleh New York Times, Direktur Kreatif Gucci Alesandro berkata, ”Old things make me feel contemporary”. Sebagian besar tren mode yang eksis saat ini justru diambil dari mode lampau. Contoh nyatanya, aksen mode yang kini sedang laris seperti puff sleeves dan kalung rantai tentu sudah pernah Anda lihat pada dekade atau zaman sebelumnya.
Ketika Anda memutuskan untuk mengambil tren tertentu, ada baiknya untuk melakukan riset mendalam tentang kondisi zaman, tokoh dan pergerakan yang mendukung. Dari sini, Anda akan mendapatkan banyak inspirasi baru ketimbang hanya mencontek apa yang Anda lihat dari fashion runway atau Pinterest secara blak-blakan.
Sebagai simulasi, mari kita ambil tren bucket bag. Jika Anda tidak mau ambil pusing, tentu akan mudah mengambil beberapa gambar tas populer dari Gucci, Loewe, Mansur Gavriel atau Louis Vuitton dan membuat desain yang sama dengan bahan yang bisa Anda dapatkan. Sayangnya, desain Anda akan terlihat basi dengan kualitas yang jauh dari desain yang Anda jiplak (karena tentu saja, para rumah mode yang sudah dulu eksis memiliki sumber daya dan teknologi produksi yang jauh lebih mumpuni). Lebih parahnya lagi, label Anda dapat dituduh sebagai penyontek.
Namun jika menelaah filosofi bucket bags dari berbagai tradisi lalu mengawinkannya dengan napas modernisme, Anda akan membuat sebuah inovasi menarik serta kualitas yang tidak dapat dibandingkan dengan brand ternama.
4. Penyesuaian dengan tema besar dan brand DNA
Ketika riset menyeluruh dan dalam sudah rampung, langkah selanjutnya adalah penyesuaian dengan brand DNA dan tema besar dari label Anda. Proses ini sangat membantu untuk menciptakan ciri khas pada produk. Contoh ini paling nyata terlihat pada rumah mode Italia Bottega Veneta dan desainer kebanggan Indonesia, Toton.
Bottega Veneta yang sisi kreatifnya kini dikepalai Daniel Lee ikut mengadaptasi tren tas ekstra besar dan memamerkannya pada koleksi runway spring/summer 2020. Yang membuatnya menonjol dibanding label lain adalah kehadiran aksen anyaman khas warisan sang rumah mode. Ciri khas ini membuat koleksinya dipuji oleh kritisi mode, menjadi viral dan laris di pasaran.
Dari dalam negeri, desainer nasionalis Toton Januar secara konstan mengaplikasikan tren mode terkini yang dikombinasikan sisi kreatif dan kecintaannya pada berbagai budaya Indonesia. Pada koleksi terbarunya, Toton mengawinkan tren aksen puff sleeves dengan teknik scalloping dengan bahan renda bordir yang kerap kita lihat pada kebaya perempuan Indonesia. Kehadiran eksperimen Toton memberi napas segar pada dunia mode kreatif.
5. Pengembangan dalam strategi merchandising.
Yang terakhir adalah penentuan kuantitas untuk barang seasonal trend yang telah dirancang. Terdapat berbagai strategi pemetaan jumlah yang dapat dipakai, namun yang paling sederhana adalah memproduksi lebih banyak barang dengan biaya produksi murah dan lebih sedikit barang dengan biaya produksi tinggi. Rilisan produk juga dapat dilakukan secara bertahap guna menjaga eksklusivitas. Untuk keterangan lebih lanjut tentang adaptasi tren mode, Anda dapat menghubungi TBF Consultant.
KETERANGAN GAMBAR UTAMA (dari kiri ke kanan):
Leonardo da Vinci Vitruvian Man, Peter Do fall/winter 2020-2021, Zantedeschia aethiopica, Louis Vuitton fall/winter 2020-2021, Blue Hand in Pinterest, Marion Parke catalog shoot, Pantone color code.